Konser Hindia di Kota Tasikmalaya : Konser Dituduh Sesat, Hukum Harus Jernih

Penulis : Dykasakti Azhar Nytotama – Mahasiswa Unigal Fakultas Hukum
Warga Kota Tasikmalaya sedang dihadapkan pada kegaduhan yang cukup ramai soal konser musik Hindia. Yang sebagian orang anggap membawa unsur “satanik” dan dianggap bertentangan dengan nilai-nilai keislaman yang hidup di tengah masyarakat.
Menurut penulis, persoalan ini tidak bisa dilihat secara hitam-putih, karena ada beberapa hal yang perlu dibahas secara menyeluruh dan mendalam.
Pertama, ada masalah pada Perda No. 11 Tahun 2009 tentang Ketertiban Umum, khususnya pasal 18 tentang tertib usaha yang melanggar kesusilaan. Aturan ini terasa belum jelas. Kedua, Perda No. 7 Tahun 2014 tentang Tata Nilai Kehidupan Masyarakat yang Religius, khususnya pasal 5 yang mengatur pelaksanaan norma di masyarakat, juga mengandung banyak tafsir.
Kalau dilihat dari Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, seharusnya setiap aturan dibuat dengan tujuan yang jelas dan kesesesuaian dengan hukum.
Baca Juga : Produk DPRD Biang Kerok Polemik Konser Musik, PMII Soroti Perda Tata Nilai
Tapi dalam kasus Perda Tata Nilai ini, pengaturannya masih kabur. Misalnya, “nilai-nilai syariat yang hidup di masyarakat” adalah hal yang sangat abstrak. Masing-masing orang punya pemahaman yang berbeda tentang itu. Sebaliknya, soal “kesusilaan” dalam Perda Ketertiban Umum justru lebih konkret. Karena masyarakat biasanya punya pandangan yang hampir sama—misalnya, adegan pornografi atau aksi telanjang jelas-jelas dianggap melanggar norma umum. Dalam perda a qou tidak ada klausul penguatan terhadap Perda Tata Nilai.
Tapi kalau dikaitkan dengan konser Hindia, yang dianggap membawa simbol-simbol satanik atau dajjal, ini jadi persoalan yang sangat multitafsir. Ada yang menganggap itu propaganda melawan agama, tapi banyak juga yang melihatnya hanya sebagai bentuk ekspresi seni atau hiburan biasa.
Dalam konteks ini, penulis melihat bahwa reaksi kelompok seperti Aliansi Al-Mumtaz adalah hak mereka sebagai warga negara untuk menyampaikan pendapat. Begitu pula dengan para penggemar konser yang merasa tidak terganggu secara nilai dan keyakinan. Di sini terlihat bahwa masalah dasarnya justru muncul karena aturan hukumnya belum cukup jelas.
Menurut penulis, ada beberapa langkah yang bisa diambil oleh pemerintah daerah:
– Perlu ada evaluasi ulang terhadap Perda Tata Nilai dan aturan-aturan serupa. Tapi tentu saja proses revisi itu bisa memakan waktu cukup lama.
-Karena itu, sebagai langkah alternatif, DPRD bisa menggunakan hak menyatakan pendapat, sesuai Pasal 185 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2014 jo. Pasal 156 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Ini memungkinkan DPRD menyampaikan pandangan resmi atas kejadian luar biasa di daerah.
-Penulis mengapresiasi langkah Kapolres Tasikmalaya Kota yang terlebih dahulu mengajak ormas Islam berdiskusi sebelum membuat rekomendasi ke Polda Jabar Itu sudah sejalan dengan Perkap No. 7 Tahun 2023, terutama Pasal 17, yang menekankan bahwa Polri wajib mencermati apakah suatu kegiatan bertentangan dengan kepentingan umum.
Namun sayangnya, pertemuan tersebut hanya melibatkan satu sisi, yaitu dari kalangan ormas Islam, tanpa melibatkan kelompok masyarakat lainnya atau para ahli.
Baca Juga : Imbas Polemik Konser Hindia, Wali Kota Tasikmalaya Turun Tangan Buat Perwalkot Event Sebagai Senjata
Padahal, yang dimaksud “kepentingan umum” bukan hanya soal agama, tapi juga menyangkut aspek sosial, budaya, dan hukum. Maka menurut penulis, perlu dilakukan dialog ulang yang melibatkan berbagai unsur masyarakat secara lebih luas.
Ke depan, perlu dibuat aturan khusus yang lebih rinci soal izin keramaian seperti konser, yang disesuaikan dengan norma hukum dan nilai-nilai sosial di masyarakat, agar kejadian seperti ini tidak terulang lagi dan tidak menimbulkan kegaduhan.